Buku Bahasa Kutai Diluncurkan

SAMARINDA, KOMPAS.com--Kantor Bahasa Kaltim telah meluncurkan buku dengan judul "Tata Bahasa Kutai", belum lama ini.

"Sebelum buku ini diterbitkan, banyak tahapan dan penelitian yang kami lakukan, penelitian itu sendiri kami lekukan 2005," kata Kepala Kantor Bahasa Kaltim, Drs Pardi, M.Hum, di Samarinda, Senin.

Menurut dia, tahapan yang dilalui itu antara lain banyaknya aspek kebahasaan yang harus dikaji lebih dulu, seperti fonologi, morfologi, dan sintaksis. Semua itu harus diteliti secara mendalam, mengingat hal itu merupakan tahapan yang paling penting.

Ia berharap dengan diterbitkannya "Tata Bahasa Kutai" dapat menggairahkan penelitian pihak lain, di samping sebagai upaya pelestarian bahasa daerah yang mecerminkan kekayaan adat dan budaya bangsa.

Menurut Pardi, perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara tidak dapat dipisahkan dari perkembangan bahasa-bahasa daerah. Bahasa daerah diyakini menjadi penyumbang kosa kata terbesar dalam bahasa Indonesia.

"Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia (KBBI) terbitan Pusat Bahasa, Depdiknas pada 2008, terdapat 1.900 tambahan kata baru dari KBBI 2002 yang bersumber dari bahasa daerah," kata Pardi.

Berdasarkan hal itu, maka usaha mengembangkan bahasa Indoensia harus berbanding lurus dengan pengembangan bahasa-bahasa daerah di nusantara, sehingga bahasa Indonesia semakin kaya dari hasil penyerapan bahasa daerah.

Bahasa daerah yang tersebar di wilayah NKRI, katanya, masing-masing memiliki ciri atau karakteristik beragam. Justru keragaman itu menjadi cita rasa lokalitas yang mencerminkan kebudayaan lokal dan kekayaan nusantara.

Kekhasan bahasa daerah meliputi aspek kebahasaan sperti kosa kata, tata bahasa, gaya, dan ragam bahasa.

"Kekhasan daerah itu harus didokumentasikan sebagai kekayaan nasional sebelum bahasa daerah itu punah," ujar Pardi, seraya menambahkan bahwa buku "Tata Bahasa Kutai" itu diluncurkan pada 6 Agustus 2009.

Sementara, buku tersebut dibuat karena Bahasa Kutai merupakan bahasa paling banyak dipakai, dan sangat luas jumlah penuturnya di Kaltim, yang meliputi Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Paser, Kota Samarinda, Balikpapan, dan Bontang.

"Jumlah penutur bahasa Kutai terbanyak di Kaltim karena berdasarkan sejarah Kerajaan Kutai, hampir semua wilayah Kaltim dulunya berada dalam kekuasaan Kerajaan Kutai, sehingga dispekati menggunakan Bahasa Kutai sebagai bahasa pemersatu di zaman itu," katanya.

Sistem Pendidikan Nasional Tak Menghargai Hak Anak-anak Suku Terasing

JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat adat menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur.

Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing sering kali diabaikan. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya.

Dodi Rokhdian, salah satu penggiat Yayasan Sokola yang berfokus pada pendidikan anak-anak suku terasing, seperti Suku Anak Dalam di Jambi, Senin (10/8), mengatakan, komunitas adat sering dipandang sebagai masyarakat yang tidak beradab dan liar.

Penilaian itu terjadi karena kemodernan dimaknai secara sempit oleh pemerintah dan masyarakat sebagai meninggalkan cara-cara hidup tradisional. Padahal, hidup tradisional belum tentu buruk dibandingkan kehidupan modern.

”Seperti dalam hak pendidikan untuk anak-anak suku terasing, terlihat sekali sistem pendidikan nasional tidak menghargai kekhususan yang ada di masyarakat,” ujar Dodi.

Kalteng Kembali Larang Pembakaran Lahan

PALANGKARAYA, KOMPAS.com- Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, Senin (10/8), mencabut Peraturan Gubernur Kalteng nomor 52 tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Pergub 52/2008 tersebut dinyatakan tidak berlaku hingga batas waktu tertentu.

Dengan demikian, kebijakan stop asap, stop bencana, dan stop kebakaran lahan yang pernah dijalankan tahun 2007 lalu kembali berlaku di Kalteng.

Sebagai gambaran, Pergub 52/2008 tersebut mengatur bahwa pembukaan lahan dan pekarangan dengan pembakaran terbatas dan terkendali harus mendapat izin dari pejabat. Dengan dicabutnya Pergub 52/2008 tersebut, maka tidak boleh lagi ada praktik pembakaran lahan.