Diganti Sawit, Buah-buahan Hutan Mulai Lenyap

KUALA KAPUAS, KOMPAS.com — Buah-buahan hasil hutan yang bisa dikonsumsi warga pedalaman Sungai Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah (Kalteng), saat ini mulai langka akibat pembabatan hutan.

Diduga pembabatan dilakukan oleh sejumlah orang dari perusahaan sawit yang masuk di kawasan itu. "Padahal dulunya, warga kita yang ada di pedalaman Sungai Kapuas hampir setiap setahun sekali bisa memakan buah-buahan hutan itu," kata pemerhati budaya adat Dayak Kapuas, Sulatin, di Kuala Kapuas, Senin.

Buah-buahan hutan yang bisa dimakan dan saat ini sudah jarang sekali ditemukan di hutan, katanya, antara lain tongkoi, rahung, durian tingang, embang, tanggaring, siwau, asem humbang, tangkuhis, enyak beruk, dan pampaken.

Menurut Sulatin, karena batang buah-buahan hutan tersebut sudah ditebang oleh sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit sehingga saat ini untuk mencari batang pohon buah tersebut di hutan sangat sulit sekali.

"Ketika saya mencoba mencari buah-buahan itu, sekarang ini hutannya sudah tidak ada lagi karena hutannya sudah dibabat dan pohon buah-buahan itu sudah tidak ada lagi," katanya.

Banyak warga pedalaman, katanya, mengeluh karena sudah tidak bisa lagi memakan buah-buahan hutan yang diproduksi secara secara gratis, alami, dan higienis tanpa bahan-bahan kimia. Warga saat ini jika ingin makan buah katanya harus mengeluarkan uang terlebih dahulu untuk membeli buah-buahan yang dibawa dari kota.

Dia juga menambahkan, yang lebih parahnya lagi katanya, akibat pembabatan hutan tersebut, tidak sedikit satwa khas Kalimantan Tengah seperti burung Tingang yang mati karena tidak ada pohon besar dan tinggi sebagai tempat untuk hinggap dan mencari makan.

Untuk itu, dia minta kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kapuas, untuk bisa menangani dan melindungi hutan Kapuas dari pembabatan hutan untuk lahan perkebunan kelapa sawit dan melindungi hak-hak adat warga di daerah pedalaman.

Kalau buah-buahan hutan yang bisa dimakan itu sudah langka, harus di mana lagi warga yang ada di pedalaman ingin mencari dan memakan buah-buahan itu. "Kalau satwa-satwa khas Kalteng sudah punah, maka anak cucu kita akan dirugikan karena tidak bisa lagi melihat satwa khas Kalteng. Kalau ini dilakukan terlambat oleh pemerintah daerah, maka keberadaan perkebunan kelapa sawit ini dapat membahayakan ciri khas budaya adat Dayak Kapuas," katanya lagi.

0 comments: